freightsight
Kamis, 28 Maret 2024

REGULASI

Tekan Dwelling Time, Aptesindo Dukung Konsisten Penerapan PM 116/2016

8 Juli 2022

|

Penulis :

Tim FreightSight

Pelabuhan

Ilustrasi Logistik via antarafoto.com

Aptesindo mendukung sepenuhnya implementasi dan pengawasan PM 116/2016 oleh Kantor Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok.

Dalam rangka menjaga dwelling time di pelabuhan Tanjung Priok agar tidak lebih dari 3 hari, perlu dukungan dari instansi dan stakeholder terhadap implementasi PM No.116 Tahun 2016 agar konsisten.

Hal tersebut dikemukakan oleh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Tempat Penimbunan Sementara Indonesia (Aptesindo) HM Roy Rayadi, menanggapi terjadinya kenaikan dwelling time di pelabuhan Tanjung Priok akhir-akhir ini.

Dwelling time merupakan waktu yang dihitung mulai dari suatu peti kemas (kontainer) dibongkar muat dan diangkat (unloading) dari kapal sampai petikemas tersebut meninggalkan terminal melalui gate utama pelabuhan.

Berdasarkan informasi yang dikutip dalam dashboard INSW, dwelling time yang tercatat pada pelabuhan Tanjung Priok selama periode semester 1/2022 yakni pada Januari 2,76 hari, Februari 2,81 hari, Maret 2,68 hari, April 2,82 hari, Mei mencapai 3,95 hari, sedangkan Juni 3,09 hari.

Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, dwelling time pelabuhan Tanjung Priok pada Januari 2021 tercatat 3,10 hari, Februari 2,55 hari , Maret 2,45 hari, April 2,49 hari, Mei 3,05 hari dan pada Juni 2,86 hari.

“Makanya sejak awal, perusahaan Tempat Penimbunan Sementara (TPS) lini 2 anggota Aptesindo yang notabene sebagai buffer terminal lini 1 di pelabuhan telah secara konsisten siap mendukung PM 116/2016. Kami juga mendukung Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok secara tegas dalam mengawal beleid itu untuk menekan dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok kurang dari 3 hari sebagaimana target Pemerintahan Presiden Joko Widodo,” ujar Roy Rayadi pada Rabu (6/7/2022).

Dia mengatakan, selama ini eksistensi TPS Lini 2 yang menjadi buffer terminal lini 1/pelabuhan Tanjung Priok telah memiliki kapasitas terpasang yang memadai guna menampung relokasi (pindah lokasi penumpukan) peti kemas yang telah melewati batas penumpukan sesuai beleid itu.

“Bahkan fasilitas TPS anggota kami juga telah dilengkapi dengan sistem IT yang terintegrasi dan peralatan yang memadai sama dengan din lini 1/terminal. Bahkan juga telah diterapkan autogate sistem di TPS lini 2 yang terkoneksi dengan sistem pengawasan kepabeanan dan cukai,” ujarnya.

Di sisi lain, menurut Roy, bisnis utama terminal peti kemas adalah bongkar muat (stevedoring), bukan mengandalkan pendapatan dari penumpukan/storage.

Adapun kegiatan relokasi peti kemas impor yang telah melewati batas waktu penumpukan dari terminal lini 1 ke TPS lini 2 masih relatif lebih efisien ketimbang jika barang impor tetap ditimbun di container yard terminal peti kemas atau lini 1 lantaran mesti terkena biaya storage progresif hingga 900%.

“Jadi intinya kalau PM 116/2016 itu dijalankan dengan baik dan didukung penuh oleh semua pengelola terminal peti kemas, kami meyakini dwelling time di pelabuhan Priok bisa lebih terjaga tidak lebih dari tiga hari ,” jelasnya.

Roy mengungkapkan, efisiensi logistik ekosistem itu dihitung door to door dan aktivitas pelabuhan merupakan salah satu bagian dari ekisistem logistik itu.

“Coba kita lihat yang di luar pelabuhan, seperti kelancaran sisi transportasi daratnya atau trukckingnya, aktivitas di depo diluar pelabuhan juga perlu dibenahi jika ingin logistik nasional lebih efisien,” paparnya.

Oleh karena itu, imbuh Roy, perusahaan anggota Aptesindo mendukung sepenuhnya implementasi dan pengawasan PM 116/2016 oleh Kantor Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok.