freightsight
Jumat, 22 November 2024

DOMESTIK

Supply Chain Global Terganggu, Industri Daging Olahan Terdampak

4 Juli 2022

|

Penulis :

Tim FreightSight

Industri Daging Olahan

Daging Olahan via Pixabay

Tantangan besar yang sebenarnya dihadapi industri pengolahan daging ialah hambatan rantai pasok pangan.

Industri pengolahan daging mengalami sejumlah tantangan saat ini. Sebelumnya saat awal-awal wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) merebak, industri daging olahan sempat terkena dampak. Namun, tantangan besar yang dihadapi mereka saat ini ialah hambatan rantai pasok pangan dunia.

Ketua Umum National Meat Producer Association (NAMPA), Ishana Mahisa memaparkan, pada awalnya wabah PMK ini berdampak pada distribusi ke beberapa daerah khususnya untuk produk makanan olahan daging sapi seperti sosis dan bakso terutama yang berasal dari daerah yang terdampak wabah seperti Jawa Timur dan ke luar Jawa Timur.

“Namun, setelah dibantu oleh Kemenko Perekonomian dan Kementerian Perindustrian serta pakar mengatakan bahwa produk pangan olahan asal hewan yang telah dilakukan pemasakan dengan pemanasan maka praktis virus PMK nya sudah tidak ada,” jelasnya kepada media pada Jumat (1/7/2022).

Ishana mengungkapkan, bahan baku produk makanan olahan daging sapi hampir sebagian besar berasal dari impor, jadi tidak berasal dari sapi lokal. Justru dirinya khawatir, ada pemahaman yang keliru terhadap wabah PMK ke produk pangan asal hewan dapat mengakibatkan turunnya permintaan karena dihindari masyarakat.

“Tetapi hal ini tidak banyak terpengaruh,” ujarnya.

Ishana menjelaskan, pemasok bahan baku daging tersebut kebanyakan dari importir, meski ada sebagian kecil produsen yang mengimpor sendiri.

“Adapun sebagian besar bahan baku dari daging sapi Australia dan sebagian lagi daging kerbau dari India,” ungkapnya.

Perlu diketahui juga, bahwa daging kerbau yang diimpor dari India sudah beku dan tanpa tulang sehingga diklaim sudah aman untuk dikonsumsi.

Ishana menceritakan, tantangan besar yang sebenarnya dihadapi industri pengolahan daging ialah hambatan rantai pasok pangan.

Selain daging yang diimpor, bahan baku lainnya seperti tepung terigu, tepung ketan, isolate soy protein (ISP), texturized vegetable protein (TVP) atau produk yang berkaitan dengan kedelai hampir semuanya dari luar negeri.

“Jadi ini masih jadi tantangan di tengah krisis supply chain karena perang antara Ukraina dan Rusia berimbas pada ekonomi ke negara lainnya. Supply chain pangan dunia ikut terganggu,” terangnya.

Sedangkan, bahan baku yang bisa dipasok dari dalam negeri hanya beberapa saja seperti tepung tapioka, es, minyak goreng, bumbu-bumbu atau rempah, dan daging ayam (untuk produk makanan olahan dari daging ayam).

Melihat tantangan ini serta harga daging sapi yang diproyeksikan akan terus naik, Ishana menilai, praktisnya dalam jangka waktu ke depan Indonesia mesti bergeser ke protein yang lebih murah yakni daging ayam agar tetap dapat dikonsumsi secara luas.

“Ayam adalah masa depan, meskipun para ahli gizi mengatakan manusia perlu juga daging merah untuk kecerdasan otak sehingga harus ada keseimbangan. Tetapi sebagai short cut supaya ada sumber protein yang murah dibandingkan sapi ya beralih ke ayam,” kata Ishana.

Adapun saat ini, Ishana mengemukakan bahwa Indonesia sudah berhasil melakukan swasembada ayam.

Di lain pihak, program swasembada daging sapi saban tahun masih saja gagal. Maka itu dia menilai peluang protein yang paling memungkinkan ialah ayam dan ikan karena lebih menguntungkan jika diproduksi di dalam negeri.

Ishana melihat peluang bisnis di industri pengolahan daging masih cukup besar setelah pandemi Covid-19. Kesadaran masyarakat akan makanan yang lebih bergizi dan berprotein menjadi lebih besar.