freightsight
Jumat, 29 Maret 2024

DOMESTIK

Pelaku Industri Cari Alternatif Lain Hadapi Ketidakpastian Rantai Pasok Global

8 Juli 2022

|

Penulis :

Tim FreightSight

Rantai Pasok Global

Ilustrasi Rantai Pasok via knic.co.id

Akibat dinamika ekonomi global yang tak tentu, hampir semua komoditas bahan baku mengalami kenaikan harga. Hal itu diperburuk dengan nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dollar AS akibat dampak tren inflasi global.

Lonjakan inflasi global dan melemahnya nilai tukar rupiah membuat harga bahan baku industri yang belakangan ini sudah tinggi semakin melejit.

Untuk menghadapi ketidakpastian rantai pasok, diversifikasi bahan baku dan efisiensi rantai pasok jadi solusi alternatif untuk menjaga produksi tetap berjalan.

Kendala mengakses bahan baku berkualitas dengan harga terjangkau itu khususnya dirasakan para pelaku industri makanan dan minuman (mamin).

Harga bahan baku yang sudah tinggi akibat imbas krisis rantai pasok dan ketegangan geopolitik pascaperang Rusia-Ukraina kian meroket dengan maraknya restriksi ekspor komoditas pangan yang dikeluarkan beberapa negara.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman mengatakan, akibat dinamika perekonomian global yang tak menentu, hampir semua komoditas bahan baku saat ini mengalami kenaikan harga.

Hal itu semakin diperparah dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS akibat dampak inflasi global.

Pada penutupan perdagangan, Selasa (5/7/2022), rupiah berada di level Rp 14.985 per dollar AS, semakin mendekati level psikologis Rp 15.000 per dollar AS.

Pelemahan nilai tukar rupiah ini ikut menekan industri manufaktur dalam negeri yang masih memiliki ketergantungan tinggi pada bahan baku impor.

Pelaku industri terpaksa berjibaku mencari solusi alternatif untuk menjaga pasokan bahan baku tetap terjaga, produksi berjalan, dan arus kas perusahaan tidak tertekan.

Pasalnya saat ini, sejumlah pelaku industri terpaksa harus menggerus margin dan menekan profit demi menjaga laju permintaan meski biaya input melonjak.

”Biaya produksi naik 10-15 persen dalam enam bulan terakhir. Sebenarnya sudah harus menaikkan harga lagi, tetapi banyak yang wait and see dan memilih menekan margin.

Kami khawatir kalau harga dinaikkan lagi, daya beli masyarakat semakin lemah dan permintaan ikut lesu,” kata Adhi pada Selasa (5/7/2022).

Untuk menyikapi ketidakpastian krisis rantai pasok itu, diversifikasi dan substitusi bahan baku pun dijadikan strategi andalan.

"Kita harus punya alternatif formula. Kalau bahan baku yang ini mahal, ganti dengan yang itu. Industri harus memetakan dan menyiapkan cadangan,” ujarnya.

Komoditas pangan yang produktivitasnya tinggi dan bisa diproduksi di dalam negeri seperti jagung, singkong, dan sagu, dijadikan substitusi andalan bahan baku untuk sejumlah produk mamin.

Sebagai contoh, mi instan yang bergantung pada tepung terigu dari gandum dapat disubstitusi dengan tepung beras atau jagung.

Dengan demikian, industri diharapkan tidak perlu bergantung pada bahan baku impor dan mengerek harga produk jadi karena biaya input yang melonjak.

”Bahan baku lain kita sudah tersedia, tinggal masalah pengolahan dan infrastruktur. Pemerintah juga harus punya komando dan peta jalan yang jelas, jangan dibiarkan tidak terurus seperti sekarang,” katanya.

Langkah lain yang ditempuh adalah efisiensi rantai pasok dengan memangkas komponen biaya operasional lainnya.

Sebagian industri kini sedang berpikir untuk melakukan reshoring atau mendekatkan pusat produksi ke pasar yang disasar.

"Karena semakin lama ongkos logistik itu semakin mahal,” ujar Adhi.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menilai, pengusaha relatif masih mampu mengantisipasi tren inflasi global yang berdampak pada kenaikan harga bahan baku.

Sebagai konsekuensi, harga produk jadi di pasaran memang mau tidak mau naik, tetapi itu dinilainya masih dalam batas wajar.

”Kalaupun naik, kami usahakan tidak terlalu tinggi karena kami juga harus melihat kemampuan daya beli masyarakat. Tetapi ini juga tergantung kemampuan perusahaan untuk menekan biaya produksinya,” ujarnya.

Di tengah kondisi rantai pasok yang terus terdisrupsi, kinerja industri manufaktur mulai ikut terusik. Data Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang dirilis oleh S&P Global, akhir pekan lalu, menunjukkan, indeks PMI Manufaktur Indonesia pada Juni 2022 berada di level 50,2.