freightsight
Jumat, 26 April 2024

PELABUHAN

Pelabuhan Dinilai Sebagai Faktor Penyebab Mahalnya Biaya Logistik Indonesia

15 November 2021

|

Penulis :

Tim FreightSight

sektor pelabuhan logistik

Harbour © Moritz Kindler via Unsplash

Diketahui bahwa salah satu penyebab dari tingginya biaya logistik yang dialami oleh Indonesia saat ini ditentukan oleh beberapa faktor, yang mana salah satunya adalah karena pelabuhan. Hal ini sebagaimana kajian yang telah dilakukan oleh pihak Sekretariat Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) pada periode 2021-2022.

Firli Bahuri selaku Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan juga Anggota Tim Nasional Pencegahan Korupsi, menyampaikan bahwa birokrasi dan layanan di pelabuhan laut yang tidak terintegrasi serta tumpang tindih, menjadi salah satu penyebab tingginya biaya logistik.

Tidak hanya itu, ada begitu banyaknya instansi yang saat ini terlibat dalam layanan pelabuhan juga semakin memperburuk kondisi, dan ujung-ujungnya membuat layanan jadi tidak efisien. Ia juga menyinggung soal para pengusaha yang mengeluh banyaknya praktek suap pada pelayanan yang tidak sesuai dengan sistem informasi teknologi. Pada akhirnya hal ini menyebabkan rendahnya transportasi dan akuntabiltas dalam proses operasional.

"Belum lagi hilangnya potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) karena sistem yang masih manual pada beberapa titik," ujarnya, Kamis (11/11/2021).

Selanjutnya, Firli juga mengatakan bahwa ada 4 permasalahan yang ditemukan oleh pihaknya dan tim, ketika melakukan kajian pada pelabuhan laut. Yang mana beberapa diantaranya adalah adanya otoritas pelabuhan dan kesyahbandaran yang tidak menggunakan sistem aplikasi Inaportnet untuk melakukan pelayanannya.

Menurut Firli, dengan adanya layanan atau transaksi yang tidak terlapor ke sistem bisa menimbulkan potensi hilangnya penerimaan ke negara. Selain itu, ditemukan pula adanya pemberian layanan jasa kepelabuhan yang ternyata tidak terekam ke dalam sistem manual, dan juga karena adanya pembayaran yang tidak sesuai dengan pengguna jasa.

Kemudian, Firli juga melanjutkan bahwa ditemukan adanya ketidaksesuaian kualifikasi, kebutuhan, kelembagaan, dan proses implementasi kerja pada proses bongkar muat di pelabuhan. Pada akhirnya hal ini menyebabkan adanya kerugian untuk para pengguna jasa dan tenaga kerja bongkar muat.

"Kemudian juga masih ditemukan layanan jasa kepelabuhanan yang belum terintegrasi satu sama lain (seperti layanan karantina) dan belum tersedia 24/7 sebagai akibat dari keterbatasan SDM," katanya.

Padahal, menurut penilaian Firli adanya produktivitas dan efisiensi pada pelabuhan akan menjadi keunggulan bagi pelabuhan tersebut, dan nantinya mampu menarik muatan internasional untuk singgah di pelabuhan tersebut. kemudian ia mengambil pelabuhan Singapura sebagai salah satu contoh, yang mana pelabuhan tersebut berhasil memiliki trafik petikemas tahunan lebih kurang sebanyak 37 juta TEUs, yang mana dari total keseluruhan 80 persennya adalah berasal dari kargo transshipment dari negara-negara lain.

"Sebaliknya, pelabuhan yang kurang produktif dan kurang efisien dapat menjadi suatu kelemahan yang signifikan bagi perekonomian suatu negara," tutupnya.

Sebagai informasi tambahan, biaya logistik Indonesia berdasarkan data dari Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) 2020, adalah sebesar 26,4 persen, dari total Produk Domestik Bruto (PDB). Dengan data dan angka tersebut, maka bisa dikatakan bahwa biaya logistik di Indonesia terbilang cukup tinggi.

Sebagai data lebih jelas, bisa dilihat pada Logistic Performance Indeks (LPI) yang dikeluarkan oleh World Bank pada tahun 2018 lalu, yang mana pada saat itu Indonesia menempati posisi ke 46 dari total 160 negara. Dari data tersebut bisa disimpulkan bahwa persaingan Indonesia dengan negara lain cukup tertinggal, karena peringkat Indonesia yang terbilang rendah.