freightsight
Sabtu, 20 April 2024

EKSPOR

KKP optimis Perjanjian Subsidi Perikanan WTO Berpotensi Tingkatkan Produksi dan Ekspor

23 Juni 2022

|

Penulis :

Tim FreightSight

Sektor Perikanan

Nelayan via kkp.go.id/

KKP optimis Perjanjian Subsidi Perikanan hasil dari Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-12 World Trade Organization (WTO) bisa meningkatkan kegiatan ekspor dan daya saing perikanan.

BPS mencatat nilai ekspor produk perikanan Maret 2022 yang mencapai US$548,35 juta atau setara dengan Rp7,87 triliun.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sangat optimis mengenai Perjanjian Subsidi Perikanan hasil dari Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-12 World Trade Organization (WTO) yang bisa meningkatkan kegiatan ekspor dan daya saing perikanan.

Perjanjian Subsidi Perikanan (Agreement on Fisheries Subsidies) pada dasarnya adalah untuk menghapus subsidi perikanan yang telah menyebabkan Illegal, Unregulated, and Unreported Fishing (IUUF).

Perjanjian tersebut nantinya akan segera membolehkan negara untuk dapat tetap memberikan subsidi berupa bahan bakar minyak (BBM) terhadap para nelayan dengan beberapa ketentuan.

Nelayan juga harus bisa memenuhi kebijakan penangkapan ikan yang terukur melalui implementasi pengelolaan perikanan berkelanjutan serta efektif (fisheries management/FM).

Pasalnya, dalam KTM tersebut rupanya negara maju itu menekan untuk bisa menghapus subsidi yang akibat terjadinya overcapacity serta overfishing juga maraknya IUU Fishing terutama untuk nelayan dalam skala besar.

Machmud selaku Sekretaris Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan Dan Perikanan KKP juga menyampaikan bahwa adanya kebijakan penangkapan ikan yang terukur tidak akan bisa menurunkan produksi serta ekspor sektor perikanan.

Menurut beliau, kebijakan ini justru malah akan mendorong produksi, tetapi dengan catatan harus ada aturan supaya tidak akan terjadi eksploitasi.

Machmud di sini juga menjelaskan jumlah tangkapan Indonesia saat ini bisa mencapai sebesar 7 juta ton per tahun. Sementara itu, untuk Indonesia sendiri diperbolehkan untuk menangkap ikan di lautan sekitar 9 juta ton.

“Dari situ sudah kelihatan ada space bahwa kita bisa menangkap sekitar 2 juta ton lagi, kalau itu gak diatur dengan baik, maka akan terjadi eksploitasi,” ungkap Machmud dalam Media Briefing KKP, Selasa (21/6/2022).

Dijelaskan pula oleh Machmud, dari 7 juta ton hasil tangkapan tersebut, rupanya hanya sekitar 10 hingga 15 persen saja yang telah berhasil diekspor, sementara itu sisanya terserap di dalam negeri.

Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat nilai ekspor produk perikanan pada bulan Maret 2022 yang mencapai US$548,35 juta atau setara dengan Rp7,87 triliun.

Angka ini pun naik 22,48 persen jika dibanding dengan Februari 2022 yang ternyata meningkat 14,87 persen jika dibandingkan dengan nilai ekspor pada Maret tahun sebelumnya.

Sementara itu, secara kumulatif periode Januari – Maret 2022 atau triwulan I/2022, nilai ekspor produk perikanan capai US$1,53 miliar atau naik 21,63 persen (yoy).

“Dari 7 juta ton, berapa yang diekspor? 10-15 persen, sisanya itu konsumsi dalam negeri. Bisa nggak kita meningkatkan produksi? Bisa. Spare produksi kita masih 2 juta ton, tapi harus diatur,” lanjut Machmud.

Artinya dengan produksi meningkat tentu akan mendorong potensi ekspor bertambah pula. Adanya subsidi pun tentu akan menekan biaya sehingga harga ikan akan bisa bersaing dengan negara lain. KKP juga sangat berharap beleid terkait hal tersebut rampung diperbarui Juli 2022.

Perlu diingat, jika penangkapan tidak dibatasi, tentu potensi eksploitasi berujung turunnya jumlah tangkapan dan kekurangan bahan pangan ikan laut.

“Kita masih punya spare produksi, kita harus me-manage dengan baik,” pungkas Machmud yang juga delegasi RI dalam sidang WTO di Jenewa, Swiss, pada tanggal 12-17 Juni 2022.