freightsight
Jumat, 26 April 2024

EKSPOR

Selama 4 Tahun Berturut-turut Ekspor Minyak Sawit Kian Merosot

27 Januari 2023

|

Penulis :

Tim FreightSight

kelapa sawit minyak

via bisnisindonesia

• Gapki melaporkan ekspor minyak sawit Indonesia selama 4 tahun terakhir merosot.
• Nilai ekspor CPO, olahan dan turunannya 2022 mencapai US$39,28 miliar atau naik 10,65% dibandingkan 2021 sebesar US$35,5 miliar.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) melaporkan bahwa ekspor minyak sawit Indonesia selama 4 tahun terakhir merosot. Gapki mencatat tahun 2019 ekspor mencapai 37,4 juta ton. Lalu, turun 34 juta ton pada 2020 dan kembali turun 33,67 juta ton pada 2021. Sepanjang 2022, ekspor melanjutkan tren penurunan, yakni 30,8 juta ton atau turun 8,52% dibandingkan tahun sebelumnya.

Ketua Umum Gapki Joko Supriyono mengatakan tren penurunan ekspor harus diantisipasi, sebab minyak sawit merupakan salah satu sumber devisa negara. Dia berharap agar situasi 2022 seperti kelangkaan minyak goreng dan pelarangan ekspor sawit tidak lagi terjadi tahun ini. “Tahun 2022 paling tidak normal, mudah-mudahan dinamika yang bergejolak itu tidak terjadi lagi tahun ini,” ujar Joko dalam acara jumpa pers di Jakarta, Rabu (25/1/2023).

Kendati secara volume menurun, nilai ekspor CPO, olahan dan turunannya 2022 mencapai US$39,28 miliar atau naik 10,65% dibandingkan 2021 sebesar US$35,5 miliar. “Ini terjadi karena memang harga produk sawit tahun 2022 relatif lebih tinggi dari harga tahun 2021,” kata Joko.

Joko mengungkapkan kinerja industri sawit 2022 dipengaruhi sejumlah kejadian, yaitu cuaca ekstrem basah, lonjakan Covid-19 Februari, perang Ukraina-Rusia, harga minyak nabati termasuk minyak sawit tinggi, harga minyak bumi tinggi, kebijakan pelarangan ekspor produk minyak sawit oleh pemerintah 28 April - 23 Mei, harga pupuk tinggi dan rendahnya pencapaian program peremajaan sawit rakyat (PSR).

“Kejadian tidak biasa tersebut sangat berpengaruh terhadap kinerja industri sawit Indonesia baik dalam produksi, konsumsi, maupun ekspor,” ujar Joko.
Secara teknis, dia berujar, cuaca ekstrem basah mengganggu aktivitas serangga penyerbuk dan kegiatan panen. Kemudian, pupuk mahal dan sulit diperoleh mengganggu kegiatan pemeliharaan tanaman. Lalu, pelarangan ekspor menyebabkan buah tidak dipanen, bukan hanya periode pelarangan tetapi beberapa bulan sesudahnya saat stok tinggi.

“Program PSR yang tidak mencapai target dan pertambahan luas areal yang secara total hanya 600.000 hektare dalam 5 tahun terakhir akibat moratorium perizinan berusaha untuk kelapa sawit menyebabkan hilangnya harapan kenaikan produksi dari tanaman-tanaman baru,” jelas Joko.

Dia menuturkan, harga tinggi menyebabkan penundaan replanting banyak kebun sehingga porsi tanaman tua yang produktivitasnya lebih rendah menjadi banyak.
Situasi ini berkontribusi pada pencapaian produksi CPO 2022 46,73 juta ton, lebih rendah dari produksi 2021 46,88 juta ton.

“Ini merupakan tahun ke-4 berturut-turut di mana produksi cenderung terus turun atau stagnan sejak kelapa sawit diusahakan secara komersial di Indonesia,” ucap Joko.

Dia menyampaikan konsumsi sawit dalam negeri 2022 secara total 20,97 juta ton, lebih tinggi dibandingkan 2021 sebesar 18,42 juta ton. Konsumsi didominasi industri pangan 9,94 juta ton atau lebih tinggi dari 2021 8,95 juta ton dan lebih tinggi dari 2019 sebelum pandemi 9,86 juta ton. Konsumsi untuk industri oleokimia 2,18 juta ton, naik dibandingkan 2021 2,13 juta ton dan lebih rendah dari kenaikan konsumsi 2019-2020 sebesar 25,4% dan 2018- 2019 sebesar 60% diduga berhubungan dengan situasi pandemi Covid-19.

Kemudian, konsumsi untuk biodiesel 2022 mencapai 8,84 juta ton lebih tinggi dari konsumsi 2021 sebesar 7,34 juta ton. Dengan pencapaian produksi, konsumsi dalam negeri dan ekspor tersebut, stok minyak sawit di dalam negeri diperkirakan 3,66 juta ton.

Berdasarkan laju pertumbuhan produksi dan konsumsi, maka faktor-faktor penghambat pertumbuhan produksi harus diatasi.
“Kondisi yang mempengaruhi industri sawit sepanjang tahun 2022 diperkirakan masih akan mempengaruhi kinerja sawit tahun 2023. Produksi diperkirakan masih belum akan meningkat, sementara konsumsi dalam negeri diperkirakan akan meningkat akibat penerapan kewajiban B35 mulai 1 Februari 2023,” ungkap Joko.