freightsight
Selasa, 26 November 2024

REGULASI

Petani Sawit Sumsel keluhkan Harga TBS Anjlok setelah Dua Pekan Ekspor CPO Dilarang

12 Mei 2022

|

Penulis :

Tim FreightSight

Petani Sawit CPO

Petani Sawit via Antarafoto

Dua pekan berlaku larangan CPO membuat kondisi harga TBS dari petani sawit swadaya belum juga normal.

Penurunan harga TBS ini juga tidak sebanding dengan total biaya yang dikeluarkan oleh para petani sawit.

Dua pekan yang telah berlaku bagi larangan Crude Palm Oil atau CPO rupanya telah membuat kondisi harga tandan buah segar atau TBS dari petani sawit swadaya belum juga beranjak normal, bahkan sekarang dianggap harganya makin anjlok.

Hal itu telah disampaikan oleh M Yunus selaku Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Sumatera Selatan atau Sumsel. Dirinya juga mengatakan bahwa harganya memang turun drastis hingga Rp 500 per kilogram.

Beliau mengatakan kepada Suara.com pada Kamis (10/5/2022) bahwa TBS petani swadaya saat ini hancur dan pihaknya dapat informasi jika harga di wilayah OKI (Kabupaten Ogan Komering Ilir) sudah ada yang mencapai hingga Rp 500 per kilogram.

Penurunan harga TBS ini juga tidak sebanding dengan total biaya yang dikeluarkan oleh para petani sawit. Setiap dari satu kilogram TBS, biaya produksinya bisa mencapai Rp 1.800. Dan jika harga jualnya di angka Rp 1.000 itu artinya kan para petani juga harus menomboki semua itu.

Bukan hanya itu saja bahwa ketidakpastian lainnya juga yakni Pabrik Kelapa Sawit atau PKS sekarang ini mulai membatasi menerima TBS petani swadaya. Bahkan juga sampai ada yang sama sekali tidak ingin mengambil TBS.

Kondisi ini tentu saja membuat terhambatnya rutinitas petani sawit dan PKS yang sebagian besar CPO dimiliki Indonesia di jual ke luar negeri.

Dari semua produksi per tahunnya ada kurang lebih 50 juta ton, dan alokasi paling banyak disalurkan untuk ekspor adalah 35 juta ton dan sedangkan yang di dalam negeri hanya sekitar 15 juta ton.

Itulah mengapa pabrik membatasi menerima TBS dan mereka juga tetap melakukan produksi, sementara CPO-nya justru tidak boleh di ekspor. Jika mereka sekarang terus saja mengolah CPO, tentu nanti akan taruh dimana lagi karena tangki pengisi sudah penuh.

Seperti botol jika airnya diisi terus, tetapi tidak bisa keluar jadinya penuh kan dan tangki-tangki di pelabuhan juga penuh, sehingga otomatis pabrik tidak lagi beli TBS petani.

CPO yang sudah berhasil diolah bila tidak disalurkan juga akan mengendap di dalam tangki timbun. Menurut Yunus, ini memerlukan pemeliharaan dan pemanasan sehingga tidak terjadi pengendapan serta peningkatan asam lemak.

Akibat dari ketetapan Presiden Jokowi pada 28 April 2022 membuat harga CPO dunia naik hingga Rp 23.000 per kilogram. Menurut Yunus, hal ini juga terjadi karena tidak ada pasokan dari Indonesia.

Berbeda dengan karet dapat disimpan berhari-hari, sawit mampu bertahan 12 jam sebelum sampai pabrik.

Yunus juga menjelaskan bahwa sawit tidak dipanen akan membusuk dan menyebabkan keracunan bagi pohonnya. Jika kebijakan ini dipertahankan, efeknya kebun kelapa sawit petani bahkan perusahan tidak terurus dan tidak akan panen.

Dari permasalahan timbul, Yunus juga menganggap kebijakan larangan CPO tidak efektif guna menurunkan harga minyak goreng yang malah membuat kerugian bagi petani sawit, pekerja dan perusahan.

Kita juga mohon kepada presiden mencabut kembali kebijakan ini dan jangan berlama-lama. Cukup sudah jika memberi pelajaran kepada perusahaan tidak taat kepada permendag tentang aturan CPO dan DMO yang 20 persen itu.