freightsight
Rabu, 24 April 2024

IMPOR

Neraca Komoditas Menghambat Impor Bahan Baku, Ini Kata Pelaku Usaha!

8 Februari 2023

|

Penulis :

Tim FreightSight

via unsplash

Pelaku usaha manufaktur mengaku resah dengan kebijakan impor bahan baku penolong yang kini harus melalui neraca komoditas.

Pemberlakuan neraca komoditas merupakan ketentuan dari Peraturan Pemerintah Nomor 88 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian merupakan turunan dari UU Cipta Kerja.

Pelaku usaha manufaktur mengaku resah dengan kebijakan impor bahan baku penolong yang kini harus melalui neraca komoditas. Kebijakan itu disebut membuat importir tak kunjung mendapat izin impor sejak 15 Desember 2022.

Beberapa bahan baku industri yang tidak bisa masuk sendiri berjumlah 21 komoditas, mulai dari besi baja dan turunannya, bahan baku plastik, bahan baku pelumas, hingga bahan baku masker.

Ketua Umum BPP Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Capt. Subandi mengatakan, dampak dari hal tersebut, pelaku usaha terhambat berproduksi dan mengalami kerugian besar.

“Akhirnya ini jadi hambatan. Ini masih berjalan industri tapi menggunakan produk sebelum tanggal 15 Desember. Setelah itu nggak ada yang keluar (izin impornya). Akibatnya industri menggunakan sisa-sisa,” ujar Subandi saat dihubungi, Senin (6/2/2023).

Dia mengatakan, pemberlakuan neraca komoditas merupakan ketentuan dari Peraturan Pemerintah Nomor 88 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian merupakan turunan dari UU Cipta Kerja. Subandi menuturkan, PP 28/2021 tersebut sejatinya tidak berlaku setelah UU Ciptaker dibatalkan Mahkamah Konstitusi November 2021 silam dan diamanatkan untuk direvisi dalam 2 tahun.

“Gara-gara pemerintah menerbitkan Perppu Ciptaker [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada Desember 2022] untuk menghidupkan kembali UU Ciptaker. Ini jadi acak-acakan juga,” ucap Subandi.

Secara teknis, dia berujar bahwa penggunaan neraca komoditas tersebut belum siap. Pasalnya, pengajuan impor perlu melalui Sistem Nasional Neraca Komoditas atau Sinas-NK. Sistem berbasis teknologi informasi ini menyulitkan pengusaha melakukan impor. Padahal neraca komoditas disebut akan menyederhanakan perizinan ekspor-impor dan menjadi dasar penerbitan persetujuan ekspor juga persetujuan impor, serta memberikan kepastian hukum dalam perizinan berusaha.

“Ada dua tipe, ada yang sudah mengajukan tapi formatnya tidak terakomodir dalam tipe format Sinas NK. Jadi belum direspons, tertolak. Ada yang memang belum bisa masuk. Ada juga yang tidak ngerti cara pengajuan datanya karena sosialisasinya minim,” ujar Subandi.

Lebih lanjut, menurut Subandi, banyak barang importir datang di pelabuhan. Dikarenakan dokumennya tidak lengkap akibat berlakunya neraca komoditas dengan Perppu Ciptaker, barang pun tertahan. Padahal, kata Subandi, saat barang tertahan di pelabuhan atau kawasan berikat, tentunya memerlukan biaya besar. Di samping itu, barang pun juga belum pasti kembali.

“Secara nominal, sederhana saja, jika barang sudah datang misalnya per hari itu biayanya Rp300.000 per kontainer. Per hari, ada yang Rp500.000. Makanya kerugian bisa puluhan juta per bulan. Belum proses pemindahannya, ada biayanya juga,” ungkapnya.

Selain itu, Subandi mengungkapkan yang tidak memiliki pasokan barang, pada akhirnya perusahaan mengurangi produksi. Alhasil, terjadi pengurangan pendapatan bahkan pemutusan hubungan kerja (PHK) karena perusahaan tidak sanggup membayar gaji. Tidak sampai disitu, Subandi menjelaskan, PP 28/2021 itu berefek semakin luas.

Sebab, beleid hanya memperbolehkan impor komoditas dilakukan oleh produsen, sedangkan yang bukan produsen atau importir umum (supplier) sudah tidak diperbolehkan melakukan impor. Ketentuan tersebut, menurut Subandi merugikan pelaku usaha produsen dan mematikan ladang usaha.

“Padahal, banyak bisnis yang perlu menggunakan importir umum ini atau trading untuk menyuplai. Bisa juga pelaku industri ini yang impor kan. Tapi agar fokus ke industrinya aja, makanya produsen pake jasa importir umum ini. Seperti restoran misalkan, harus menjaga bahan baku itu pake supplier kan?” imbuh Subandi.

Terkait respons pemerintah, dia mengatakan, kalau pemerintah meminta pelaku usaha bersabar hingga waktu 1-2 bulan ke depan.

“Pemerintah katanya mengadakan rapat internal, akselerasi karena harus ada keterlibatan lembaga kan. Ditunggu katanya 1-2 bulan. Kemarin Januari baru ada rapat, diputuskan 1-2 bulan ke depan. Ini sudah mau pertengahan Februari,” tutur Subandi.