EKSPOR
27 Januari 2023
|
Penulis :
Tim FreightSight
• Gapki memproyeksikan ekspor CPO tahun ini akan menurun dibandingkan 2022.
• Ada tantangan ekspor sawit, misalnya ekonomi dunia yang masih lesu dan pelarangan impor sawit oleh Uni Eropa.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memproyeksikan bahwa ekspor minyak sawit (crude palm oil/CPO) tahun ini akan segera mengalami penurunan jika dibandingkan pada tahun 2022. Salah satu penyebabnya yaitu mulai diimplementasikannya program pencampuran biodiesel ke dalam bahan bakar minyak solar yang segera ditingkatkan menjadi 35% atau B35.
Ketua Umum Gapki Joko Supriyono mengatakan bahwa dengan program B35 itu, otomatis jatah ekspor sawit akan menurun. Program B35 ini rencana tentu saja mulai diterapkan per 1 Februari 2023. “Estimasi kebutuhan biodiesel untuk mendukung implementasi B35 sebesar 13 juta kiloliter atau meningkat sekitar 19 persen dibandingkan tahun lalu. Jelas akan tersedot ke dalam negeri ya, CPO kita,” ujar Joko kepada awak media di Jakarta, Rabu (25/1/2023).
Bukan hanya itu, ada beberapa tantangan tentang ekspor sawit, seperti ekonomi dunia yang memang masih lesu dan pelarangan impor sawit oleh Uni Eropa. Walaupun demikian, tentu saja Joko mengaku masih optimistis Indonesia tetap akan mempunyai pasar potensial yang baru.
“Sepertinya tahun ini, flat saja ya [ekspornya]. Harganya juga seperti masih cukup bagus meski ada penurunan sedikit,” ujar Joko.
Di samping itu, Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Sahat Sinaga memproyeksikan bahwa harga CPO akan berada di kisaran US$450 per ton pada tahun 2023. Dengan harga sebesar itu, tentu saja menurut Sahat, tentu juga akan cukup berdampak pada keuntungan pengusaha dan kesejahteraan petani.
“Itu reasonable good sehingga kalau petani bisa produksi 21 ton tandan buah segar per hektare per tahun maka dia bisa menjual sekiranya Rp2.800 per kg. Itu sudah untung bagus. Kira-kira 30 persen margin sudah dapat,” tutur Sahat.
Namun, Sahat di sini pun juga sangat berharap supaya harga sawit tidak terlampau tinggi. “Jangan lupa harga tinggi sawit bisa jadi racun, itu perlu kita ingat. Contohnya, kalau harga tinggi dengan tingkat produktivitas rendah, dia nggak ada usaha perbaiki produktivitasnya. Meski rendah tetap saya dapat itu nggak bagus untuk suatu usaha,” tutur Sahat.
Menurut laporan Gapki, ekspor minyak sawit yang ada di Indonesia selama 4 tahun terakhir justru malah kian merosot. Gapki juga mencatat pada tahun 2019 ekspor mencapai 37,4 juta ton. Kemudian, turun menjadi 34 juta ton pada tahun 2020 dan kembali turun menjadi 33,67 juta ton pada 2021.
Sepanjang tahun 2022, ekspor melanjutkan tren penurunan, yaitu mencapai 30,8 juta ton atau turun 8,52% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Di samping itu, konsumsi sawit dalam negeri pada tahun 2022 secara total mencapai 20,97 juta ton, lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun 2021 yang sebesar 18,42 juta ton.
Konsumsi didominasi untuk industri pangan sebesar 9,94 juta ton atau lebih tinggi dari tahun 2021 sebesar 8,95 juta ton dan lebih tinggi dari tahun 2019 sebelum pandemi 9,86 juta ton.
Konsumsi untuk industri oleokimia mencapai 2,18 juta ton, naik jika dibandingkan 2021 dengan sebesar 2,13 juta ton dan jauh lebih rendah dari kenaikan konsumsi 2019-2020 sebesar 25,4% dan 2018- 2019 sebesar 60% yang diduga berhubungan dengan situasi pandemi Covid-19. Kemudian, konsumsi untuk biodiesel sepanjang tahun 2022 mencapai 8,84 juta ton yang lebih tinggi dari konsumsi 2021 sebesar 7,34 juta ton
Bagikan artikel ini:
ARTIKEL TERKAIT
TERPOPULER
18 Maret 2024
1 Maret 2024
2 Februari 2024
17 Januari 2024
3 Januari 2024
19 Desember 2023
6 Desember 2023
5 Desember 2023
4 Desember 2023
Selalu update dengan berita terbaru!
LAPORAN INDUSTRI
18 Maret 2024
1 Maret 2024
2 Februari 2024
Copyright 2021 © Freightsight. Kebijakan privasi