freightsight
Jumat, 26 April 2024

REGULASI

Peneliti CIPS Sebut Indonesia Perlu Tingkatkan Produk Impor Berkualitas

22 Desember 2022

|

Penulis :

Tim FreightSight

via pexels

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Hasran, menilai Indonesia masih perlu meningkatkan daya saing untuk produknya agar dapat bersaing di pasar global.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Hasran, menilai dalam meningkatkan kinerja perdagangan dan memperbaiki kualitas impor agar dapat bersaing di pasar internasional, Indonesia perlu meninggalkan kebijakan proteksionis.

"Indonesia masih perlu meningkatkan daya saing untuk produknya agar dapat bersaing di pasar global. Peningkatan daya saing ini memerlukan upaya untuk menciptakan kualitas produk yang berstandar internasional dan mampu bersaing secara harga," kata Hasran pada Selasa (20/12/2022).

Hasran menyebutkan, peningkatan daya saing ini sangat diperlukan Indonesia agar dapat membuka pasar bagi produk dalam negeri. Menciptakan produk berkualitas unggul dengan harga bersaing ditentukan oleh ketersediaan bahan baku yang dibutuhkan serta banyak bahan baku tersebut dipenuhi melalui impor.

Adapun kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) juga kerap mempersulit integrasi Indonesia ke dalam rantai nilai global. Menurut Hasran, kebijakan ini dapat ditemukan pada hampir semua sektor industri dan sejatinya membatasi pada pelaku industri untuk memperoleh komponen-komponen produksi dari luar negeri yang relatif murah.

Kebijakan TKDN, imbuh Hasran, meski menjadi bentuk kebijakan yang berpihak pada pemerintah pada perusahaan lokal, namun kebijakan itu dinilai berpotensi menghilangkan kompetisi yang sehat dalam industri. Selain itu, TKDN juga merupakan klausul yang ditentang dalam perjanjian dagang RCEP di mana Indonesia merupakan salah satu negara anggotanya.

Menurut Hasran, agar dapat menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi, industri perlu diberikan keleluasaan dalam mendapatkan bahan baku yang berkualitas. Pada akhirnya impor yang dilakukan itu bertujuan untuk memberikan nilai tambah, bukan untuk konsumsi secara langsung.

Dalam dua tahun terakhir, Indonesia mengalami surplus neraca perdagangan. Secara volume, tidak ada peningkatan yang signifikan. Hanya saja secara nilai ekspor RI meningkat tajam ke pasar internasional. Peningkatan ekspor tersebut sudah disebabkan oleh kenaikan harga-harga komoditas, seperti nikel, batubara dan CPO di pasar global. Di penghujung tahun ini, harga komoditas-komoditas tersebut akan turun dan tentunya berdampak langsung pada neraca perdagangan Indonesia.

Hasran menambahkan, sejak dulu hingga sekarang Indonesia lebih banyak mengekspor sumber daya alam (komoditas) dibanding produk-produk jadi yang memiliki nilai tambah atau value added yang tinggi. Untuk itu, Indonesia perlu segera beralih dari mengandalkan komoditas tambang sebagai andalan ekspornya. Di tengah krisis iklim dan kebutuhan produk yang memiliki nilai keberlanjutan tinggi, meningkatkan nilai tambah pada produksi dalam negeri merupakan satu hal yang dapat dilakukan untuk membuka pasar untuk produk Indonesia.

"Ekspor sumber daya alam sangat rentan terhadap global shock dibanding produk jadi bernilai tinggi. Ekspor produk jadi juga akan membuka lebih banyak kesempatan kerja dan mengurangi kemiskinan dibanding ekspor sumber daya alam atau komoditas," ujar Hasra.