freightsight
Jumat, 17 Mei 2024

EKSPOR

Larangan Ekspor Bijih Nikel: Perdagangan Bebas versus Proteksionisme

7 November 2022

|

Penulis :

Dewi Permatasari

Biji Nikel

via Freepik

Industri nikel di Indonesia dilansir memiliki masa depan yang cerah. Pasalnya nikel saat ini menjadi sumber daya mineral yang menjadi komoditas strategis di pasar global. Direktur Utama PT. Citra Lampia Mandiri (CLM)/Lampia Group, Helmut Hermawan mengungkapkan bahwa masa depan industri di Indonesia akan semakin cerah. Dengan volume lebih dari setengah cadangan dunia sebesar 150 juta ton, Indonesia memiliki peluang besar untuk mengambil alih pemenuhan kebutuhan nikel dunia. Selain volume yang masif, penyebaran cadangan nikel di Indonesia juga merupakan yang terbesar di dunia dengan 90 persen cadangan nikel tersebar di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara dan Maluku Utara. Berdasarkan proyeksi Badan Energi Internasional (IEA) permintaan nikel kian meroket seiring dengan menguatnya tren energi terbarukan. Nikel dibutuhkan untuk pengembangan mobil listrik. Dalam laporannya di Southeast Asia Energy Outlook 2022, IEA memprediksi permintaan nikel untuk keperluan teknologi energi bersih akan berkembang pesat sampai 20 kali lipat selama periode 2020 sampai 2040.

Pada awal tahun 2020 Indonesia menerapkan larangan ekspor bijih nikel untuk menguatkan hilirisasi produk nikel dalam negeri, sehingga Indonesia dapat mendongkrak harga nikel lebih tinggi. Larangan ini membuahkan gugatan Uni Eropa kepada Indonesia ke World Trade Organization (WTO) lataran kebijakan ini dinilai sebagai diskriminasi dalam perdagangan internasional dan mencederai prinsip-prinsip perdagangan bebas. Eropa menuding pelanggaran yang dilakukan Indonesia terkait dengan perjanjian yang sebelumnya sudah disepakati melalui WTO yaitu terkait Unfairness Treatment dalam Hukum Investasi Internasional. Dalam kasus ini, larangan ekspor nikel dianggap sebagai kebijakan proteksionisme. Bukan tanpa alasan pemerintah Indonesia melakukan pelarangan ekspor bijih nikel. Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan mengatakan program hilirisasi dan pelarangan ekspor bijih nikel dinilai sukses memberikan nilai tambah bagi produk nikel. Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia mencatat, pada tahun ini diprediksi akan mendapatkan sekitar US$ 30 miliar atau Rp 450-an triliun (kurs Rp 15.300-an per dolar AS) dari hilirisasi nikel Indonesia.

Kebijakan larangan ekspor bijih nikel ini dituding sebagai kebijakan proteksionisme. Dalam perdagangan internasional, terdapat dua pandangan berlawanan mengenai tingkat kontrol perdagangan antar negara yaitu, perdagangan bebas (free trade) dan proteksionisme (protectionism). Perdagangan bebas menitikberatkan kepada intervensi minimal pemerintah dalam ekonomi pasar bebas dan membiarkan penawaran dan permintaan dalam pasar mengatur kondisinya sendiri. Sedangkan proteksionisme mengacu pada kebijakan pemerintah yang membatasi perdagangan internasional untuk membantu industri dalam negeri. Kebijakan proteksionis biasanya diterapkan dengan tujuan untuk meningkatkan kegiatan ekonomi dalam ekonomi domestik tetapi juga dapat diterapkan untuk masalah keamanan atau kualitas.

Kebijakan proteksionisme tidak hanya dilakukan oleh indonesia. Di sisi lain, banyak negara di dunia yang mulai melakukan proteksionisme dengan melarang ekspor bahan komoditas seperti pangan ke negara lain. Pelarangan ekspor tersebut bertujuan untuk menjaga pasokan di negara masing-masing.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) menegaskan pelarangan ekspor bijih mentah (ore) nikel bukan bentuk retaliasi atau tindak pembalasan perdagangan atas diberlakukannya kebijakan diskriminasi sawit melalui Renewable Energy Directive II (RED II) dan Deregulated Regulation. Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga juga menyebut, Indonesia tak melanggar ketentuan perdagangan bebas terkait larangan ekspor nikel.

Hingga menuju akhir tahun 2022, gugatan yang dilayangkan Uni Eropa pad tersebut masih belum membuahkan keputusan akhir. Namun Presiden Joko Widodo menyebut bahwa ada kemungkinan Indonesia kalah dalam gugatan ini.