freightsight
Selasa, 30 April 2024

REGULASI

RPP Kesehatan Berpotensi Mengancam Keberlangsungan IHT?

29 November 2023

|

Penulis :

Tim FreightSight

unsplash.com

Sampai saat ini Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan masih menimbulkan pro-kontra. Banyak yang menilai bahwa aturan ini hanya akan mematikan industri hasil tembakau (IHT).

Untuk itu, berbagai masukan terus berdatangan terkait RPP kesehatan terkait pengaturan Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau, termasuk dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker).

Terkait hal ini, Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani, Yustinus Prastowo menyampaikan Kemenkeu meyakini bahwa cukai, instrumen yang selama ini digunakan kementeriannya cukup efektif untuk menekan konsumsi dan produksi rokok.

‘’Kami melihat dengan pengaturan yang ada saat ini (cukai rokok) cukup memadai,’’ ujar Yustinus, Selasa (28/11/2023).

Lanjut Yustinus menuturkan bahwa peraturan cukai rokok saat ini sudah berdasarkan pertimbangan berbagai aspek seperti ketenagakerjaan, keberlangsungan usaha, termasuk kesehatan.

‘’Kami telah memberikan masukan sesuai dengan porsi kami, selebihnya kita serahkan kepada kementerian lain termasuk Kemenperin dan Kemenkes dalam hal ini untuk mengatur,’’ tutur Yustinus.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrian dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Kemenaker, Indah Anggoro Putri sebelumnya menyambut positif akan hadirnya RPP Kesehatan karena berdasarkan atas tujuan yang jelas yakni untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat Indonesia.

Meski begitu, Indah menilai ada sejumlah pasal yang masih perlu dikritisi dalam RPP Kesehatan karena berpengaruh terhadap hubungan industrial.

Salah satu pasal yang dinilai harus dikritisi ialah Pasal 245 ayat 1 poin b dimana orang yang memproduksi, mengimpor, atau mengedarkan produk tembakau diwajibkan untuk mematuhi standar maksimal kadar nikotin dan tar.

Kemenaker mengusulkan agar poin tersebut diubah menjadi ‘setiap orang yang memproduksi, mengimpor, atau mengedarkan produk tembakau wajib sesuai dengan Standar nasional Indonesia (SNI)’.

Usulan perubahan tersebut karena Kemenaker khawatir poin b tersebut akan memicu tumpang tindih regulasi dan ketidakpastian usaha yang dapat berdampak pada pengurangan tenaga kerja.

‘’Untuk itu maka kami bilangnya pakai SNI aja,’’ ujar Indah.

Indah menyatakan bahwa usulan tersebut telah berdasarkan pertimbangan seluruh pemangku kebijakan termasuk didalamnya perwakilan kementerian lain, konsumen, dan pakar.

Pro-kontra akan RPP Kesehatan terkait pengaturan zat adiktif berupa produk tembakau ini sampai saat ini masih berlanjut seiring ancaman terhadap ekosistem industri.

Salah satu pihak yang mengeluarkan suara ialah Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham, Cahyani Suryandari yang mengatakan bahwa rokok bukanlah produk dilarang untuk diiklankan.

‘’Kita bicara soal pengamanan, termasuk bicara tembakau, tidak putus dari putusan MK. Kita punya 6 bahkan, tapi saya mengambil beberapa sampel saja dari putusan MK,’’ ujar Cahyani.

Ia pun menegaskan salah satu kesimpulan dari putusan MK tersebut menyatakan bahwa tembakau adalah produk yang legal, yang dapat diatur tapi tidak dilarang. Selain itu rokok bukan barang ilegal yang dilarang untuk diiklankan, tetapi dengan syarat-syarat tertentu.

‘’Artinya kalau diiklankan harus ada jaring-jaring pengamannya,’’ tutur Cahyani.

Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian Edy Sutopo juga menegaskan pihaknya siap mengawal penyusunan RPP Kesehatan demi menjaga iklim usaha industri hasil tembakau (IHT).

‘’Sejak pertengahan tahun ini, IHT secara perlahan naikkan harga rokok, hal ini mempengaruhi daya beli masyarakat terhadap rokok sehingga pesanan baru semakin turun menjelang akhir tahun,’’ tutur Edy.

Penurunan ini menyebabkan penurunan pada produksi dan adanya pembahasan RPP Kesehatan dinilai hanya akan mematikan IHT. Meski mengungkapkan ketidaksetujuan, pelaku usaha masih wait and see melihat perkembangan pembahasan RPP ini.