freightsight
Jumat, 19 April 2024

INFO INDUSTRI

Perjanjian Dagang Indonesia Lebih Banyak Dimanfaatkan oleh Aktivitas Impor

16 Februari 2022

|

Penulis :

Tim FreightSight

Pelabuhan Impor

Tanjung Priok via upperline.id

• Pelaku usaha Indonesia mencatat pembebasan tarif perjanjian dagang sejauh ini memang lebih banyak dimanfaatkan Indonesia untuk impor.

• Belum banyak aktivitas ekspor Indonesia masuk dalam rantai nilai global.

Pelaku usaha di Indonesia telah mencatat pembebasan tarif dari perjanjian dagang yang sejauh ini memang lebih banyak dimanfaatkan Indonesia untuk aktivitas impor dibanding ekspor. Hal ini tentunya tak akan lepas dari struktur impor RI yang memang didominasi bahan baku/penolong untuk dapat mendukung aktivitas produksi.

"Evaluasi ini telah dilakukan beberapa tahun terakhir, FTA lebih banyak yang digunakan untuk impor, bukan ekspor. Hal ini tentu saja karena impor kita punya banyak impor produktif untuk keperluan produksi," ungkap Shinta W. Kamdani selaku Koordinator Wakil Ketua Umum III Kadin Indonesia bidang Maritim Investasi dan Luar Negeri pada Minggu (13/2/2022).

Bukan hanya itu saja, Shinta juga mengatakan belum banyak aktivitas ekspor Indonesia masuk dalam rantai nilai global atau global value chain (GVC). Situasi ini tentu memang membuat upaya mendorong aktivitas ekspor terkendala beban pemenuhan kriteria di negara tujuan (compliance), terlepas dari pembebasan tarif diterapkan.

Beliau juga menambahkan jika ekspor untuk GVC dibantu oleh buyer global untuk kebutuhan kelancaran supply dan compliance ekspornya.

Dengan demikian, Shinta melanjutkan bahwa jika Indonesia tidak agresif mendorong ekspor, terutama dalam memenuhi kriteria di negara tujuan, perjanjian dagang tidak akan optimal dalam mengerek kinerja ekspor. Ini yang akan mengakibatkan perjanjian dagang justru memperlebar defisit dengan mitra.

Shinta pun melanjutkan akan terus terus mengimbau supaya pemerintah bisa lebih agresif lagi, lebih konsisten membantu pelaku usaha nasional meningkatkan kinerja ekspor," lanjut Shinta.

Neraca dagang yang dengan sejumlah mitra dagang telah menjalin perjanjian dagang dengan Indonesia mengalami pelebaran defisit. Di antaranya defisit dengan Australia bertambah dari - 14 miliar dollar AS pada 2020 menjadi 20 miliar dollar AS pada 2021, seiring dengan implementasi Indonesia-Australia CEPA.

Sementara itu, ada juga kenaikan defisit dialami Indonesia dengan Singapura dan Thailand, masing-masing dari 1,68 miliar dollar AS menjadi 3,81 miliar dollar AS dan dari 1,73 miliar dollar AS menjadi 2,06 miliar dollar AS.

Jemmy Kartiwa selaku Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pertekstilan Indonesia (API) mengatakan bahwa kegiatan ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) telah menikmati pembebasan tarif ke semua negara Asean terutama China. Sedangkan untuk pasar lain seperti Eropa dan Amerika Serikat (AS), barang TPT masih menghadapi bea masuk.

Jeremy mengatakan bahwa apakah otomatis akan berdampak pada aktivitas ekspor tidak akan bisa langsung disimpulkan demikian, perlu lagi kajian data lebih lanjut.

Sedangkan menurut Daniel Suhardiman selaku Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Elektronika (Gabel) telah mencatat hampir seluruh barang elektronik meliputi produk jadi, komponen, dan bahan baku ytelah berhasil diperdagangkan dengan 10 mitra dagang utama yang berhasil bebas dari pengenaan tarif.

Beliau juga mengungkapkan bahwa dengan sesama negara Asean ada AFTA dengan Negara China ada Asean-China FTA.
Ekspor industri elektronika juga telah tercatat mencapai 11,77 miliar dollar AS atau setara dengan 168,74 triliun rupiah sepanjang tahun 2021.

Hanya saja, nilai ini masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan ekspor elektronika di negara Asean lain seperti Malaysia yang mencapai nilai 37 persen dari total ekspor sebesar 293,7 miliar dollar AS atau Vietnam yang ekspor elektronikanya mencapai 39 persen dari total ekspor 364 miliar dollar AS sepanjang tahun 2021.